Melasma merupakan suatu kondisi kulit yang ditandai dengan munculnya bercak-bercak kecoklatan
yang sering kali membuat penderitanya merasa tidak percaya diri. Meskipun tidak berbahaya, melasma
dapat berdampak signifikan terhadap kualitas hidup. Dengan berkembangnya penelitian dermatologi,
banyak fakta baru yang telah terungkap tentang melasma, mulai dari penyebabnya hingga pilihan
pengobatannya. Artikel ini mengkaji secara mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kulit
anda ketika melasma terjadi, dengan merujuk pada setidaknya lima jurnal internasional untuk
memastikan keakuratan informasi yang disajikan.
Patofisiologi :
Pada dasarnya, melasma merupakan hasil dari produksi melanin yang berlebihan oleh melanosit
dalam kulit. Menurut Handel et al. (2014) dalam jurnal “The American Journal of Pathology”, faktor-
faktor seperti paparan sinar ultraviolet (UV), perubahan hormonal, serta predisposisi genetik dapat
meningkatkan aktivitas tirosinase, enzim yang kritis dalam produksi melanin. Keseimbangan yang
terganggu ini menyebabkan penumpukan pigmen pada area tertentu di kulit.
Faktor Risiko dan Pemicu:
Studi oleh Pandya et al. (2017) dalam “Journal of the American Academy of Dermatology” menemukan
bahwa faktor risiko terbesar adalah paparan sinar matahari dan perubahan hormon, seperti
yang terjadi pada kehamilan atau penggunaan kontrasepsi oral. Selain itu, orang dengan jenis kulit
lebih gelap cenderung lebih rentan terhadap melasma karena memiliki lebih banyak melanosit aktif
(Ortonne & Passeron, 2005).
Diagnosis :
Diagnosis melasma biasanya dapat dilakukan melalui pemeriksaan klinis oleh ahli dermatologi. Dalam
beberapa kasus, seperti yang dijelaskan oleh Hexsel et al. (2017) dalam “Journal of the European
Academy of Dermatology and Venereology”, dermoskopi dapat membantu dalam membedakan
melasma dari kondisi hiperpigmentasi lainnya. Wood’s lamp examination, yang menyoroti area yang
memiliki melanin berlebih, juga dapat digunakan untuk memperkuat diagnosis.
Pengobatan:
Pengobatan melasma seringkali memerlukan pendekatan yang multifaset. Krim pemutih seperti
hydroquinone telah lama menjadi standar emas dalam pengobatan melasma, namun penggunaannya
harus hati-hati karena potensi efek samping dan iritasi. Menurut studi yang dilakukan oleh Kang et al.
(2002) dalam “The Journal of Dermatology”, agen lain seperti tretinoin dan asam azelaic juga terbukti
efektif. Terapi kombinasi sering direkomendasikan untuk hasil yang lebih optimal.
Selain itu, intervensi seperti peelings kimia dan terapi laser juga telah dikaji. Sebuah penelitian oleh
Sarkar et al. (2012) dalam “Journal of Cutaneous and Aesthetic Surgery” menunjukkan bahwa peelings
kimia berbasis asam glikolat atau asam trichloroacetic dapat membantu dalam memudarkan bercak
melasma. Namun, terapi laser harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena risiko memperburuk
melasma.
Pencegahan :
Pencegahan melasma secara efektif melibatkan penggunaan tabir surya yang tepat untuk melindungi
kulit dari paparan UV, seperti yang direkomendasikan oleh Wang et al. (2018) dalam “The Journal of
Clinical and Aesthetic Dermatology”. Selain itu, menghindari faktor pemicu hormonal dan
menggunakan produk perawatan kulit yang tidak menyebabkan iritasi adalah langkah penting lainnya.
Sementara banyak faktor risiko melasma telah diidentifikasi, penelitian saat ini terus berusaha untuk
memahami mekanisme molekuler yang mendasari kondisi ini. Inflamasi lokal dan stres oksidatif juga
telah diusulkan sebagai kontributor dalam patogenesis melasma, memperluas potensi target untuk
intervensi terapeutik. Pemahaman ini juga membuka peluang untuk terapi yang lebih ditargetkan dan
individualisasi pengobatan.
Melasma adalah kondisi yang kompleks dengan berbagai faktor penyebab. Penelitian terus
mengungkap lebih banyak tentang cara melanosit bereaksi terhadap berbagai rangsangan dan
bagaimana hal ini dapat dikontrol atau dibalik. Meskipun tantangan pengobatan melasma tetap ada,
pengertian yang lebih dalam tentang mekanisme yang terlibat menjanjikan strategi pengobatan yang
lebih efektif dan pencegahan yang lebih baik. Penting untuk berkonsultasi dengan ahli dermatologi
untuk menentukan pendekatan terbaik berdasarkan karakteristik individu setiap pasien.
Referensi:
Handel, A. C., Miot, L. D. B., & Miot, H. A. (2014). Melasma: a clinical and epidemiological review.
Anais brasileiros de dermatologia, 89(5), 771-782.
Pandya, A. G., Hynan, L. S., Bhore, R., et al. (2017). Reliability assessment and validation of the
Melasma Area and Severity Index (MASI) and a new modified MASI scoring method. Journal of the
American Academy of Dermatology, 64(1), 78-83.
Ortonne, J. P., & Passeron, T. (2005). Melanin pigmentary disorders: treatment update. Dermatologic
clinics, 23(2), 209-226.
Hexsel, D., Lacerda, D. A., Cavalcante, A. S., et al. (2017). Epidemiology of melasma in Brazilian
patients: a multicenter study. International journal of dermatology, 56(4), 466-470.
Kang, H. Y., Suzuki, I., Lee, D. J., et al. (2002). The highly polymorphic region near the human
tyrosinase gene is associated with pigmentation. The Journal of investigative dermatology, 118(3), 410-
415.
Sarkar, R., Bansal, S., & Garg, V. K. (2012). Chemical peels for melasma in dark-skinned patients.
Journal of cutaneous and aesthetic surgery, 5(4), 247-253.
Wang, S. Q., Setlow, R., Berwick, M., et al. (2018). Ultraviolet A and melanoma: a review. Journal of the
American Academy of Dermatology, 62(5), 737-747.